Kalau kau
dapat menukar hidupmu, dengan siapa kau akan bertukar?
Cerita Niken
Memang, walaupun sebal, aku harus mngakui kalau semua orang pasti akan melirik
ke arahnya. Maksudku, siapa sih yang tidak akan tertarik dengan cewek pintar,
kaya, cantik dengan garis wajah campuran Manado-Jawa, ekspresif, jago acting,
berbakat di bidang musik, aktif menjuarai berbagai lomba, dan hal-hal
spektakuler lainnya yang tidak sanggup kuungkapan secara gambling.
Intinya, bila disandarkan dengannya aku ini pecundang. Total.
***
"Niken Sarasyla."
Panggilan Mama membuatku terhenyak pelan. Oh iya, aku sedang berbicara dengan
Mama di meja makan. Aku merutuki diriku yang melamun saat-saat keputusan
terpenting dalam hidupku akan keluar dari mulut Mama.
Mama menyodorkan selembar kertas. Angket jurusan perguruan tinggi
milikku. "Berapa usiamu sekarang, Niken?"
Aku menyernyit. Usiaku? Memang ada hubungannya angket jurusan yang aku serahkan
tadi? Aku melirik sekilas ke angket jurusan yang sekarang berada di
genggamanku. Tetap kosong seperti semula."Tujuh belas,"jawabku heran.
Mengapa tersenyum kecil."Kalau begitu kau sudah dapat menentukan apa yang
menurutmu baik untuk hidupmu. Pilihlah jurusan yang kau cintai, apapun itu Mama
akan mendukungnya."
"Haaah?" Aku jadi bingung sendiri. Aku sengaja berkonsultasi dengan
mama untuk soal yang satu ini dan berharapa Mama dapat menentukannya untukku.
Sekarang beliau malah menyuruhku memilih sendiri. Bagaimana ini?
***
Air. Itu kata pertama yang terlintas di benakku untuk mendinginkan otakku yang
mendidih karena semua plajaran hari ini mengadakan tes. Jadi di sinilah aku
saat ini, berenang di kolam renang sekolah.
Aku memang mencintai berenang sejak kecil. Selain ikut ekskul berenang di
sekolah, aku juga aktif di salah satu club renang. Untungnya orang tuaku
mendukung untuk hal yang satu ini.
"Jelek sekali gaya renangmu!" ejek seorang cowok dari pinggiran kolam
renang, cowok yang paling aku BENCI seumur hidup. Ares.
"Bukan urusanmu!" balasku ketus, berteriak dari ujung kolam yang
berlawanan.
"Akan kutunjukkan cara renang yang benar!" serunya lalu membuka kaos
yang dikenakannya lalu melompat masuk ke kolam renang dan berenang.
Sebal, tapi harus kuakui kalau Ars memang pantas menjadi andalan ekskul renang
sekolah dan club renangku. Tidak lama kemudian dia sudah sampai di sampingku
dengan stamina yang masih penuh, kurasa.
"Bagaimana?" tanyanya. "Harus seperti ini kalau mau menjadi
peraih medali emas di olimpiade," ujarnya lagi, mengingatkan akan
cita-citaku sewaktu kecil.
Aku mencibir kesal kea rah Ares lalu melengos.
***
Belum pernah dalam hidup, aku merasa seemarah ini. Kukira dia benar-benar sahabatku
atau paling tidak teman yang seharusnya tidak akan menuskku dari belakang.
Ternyata aku salah besar! Dia tidak lebih dari seorang pengkhianat!
Memang, mulanya aku tidak percaya dengan apa yang kudengar dari teman-teman
sahabatku bahwa dia sering jalan bersama cowok gebetanku. Tapi kejadian kemarin
telah mruntuhkan kepercayaanku kepadanya.
Secara tidak sengaja, aku melihatnya brjalan berduaan dengan cowok. Tentu saja
aku brani brtaruh kalau dia tahu dan sadar cowok yang berjalan di sampingnya
itu cowok yang kutaksir sejak kelas satu SMA. Seeorang sahabat harusnya tidak
melakukan pengkhianatan seperti rekannya sesame penjahat!
Setelah semalaman aku berpikir (sambil menangis tersedu-sedu, tentu saja), aku
memutuskan untuk menjauhinya. Aku pindah k samping tempat duduk Tyas yang
selama ini memang duduk sendiri. Aku jamin tidak aka nada yang protes.
Jangankan protes, spertinya malah tidak ada yang peduli. Teman-temanku yang
laki-laki sibuk memperebutkan tempat di sampingnya, yang baru saja
kutinggalkan. Sementara yang perempuan memang bertanya-tanya padaku. Tapi aku
yakin itu hanya sekedar basa-basi. Buktinya, setelah seulas senyum tipis
terpaksa mengembang di wajahku, mereka tidak bertanya lebih lanjut.
***
Aku brusaha memakan nasi goreng di hadapanku secepat mungkin mengingat aku
belum menyontek tugas matematika. Tapi apa daya, kalau soal makan aku memang
lambat. Tanganku berhenti menyuap saat ekor mataku menangkap siapa yang baru
memasuki kantin.
Nafsu makanku langsung hilang seketika. Dia tetap menjadi pusat perhatian di
mana pun dia berada, termasuk kantin. Entah berapa banyak anak, terutama kaum
adam, yang mengerumuninya dan berusaha mengajak ngobrol.
Aku langsung melangkah keluar kantin, meninggalkan piringku yang masih penuh.
Sial aku harus berpapasan dengannya di pintu kantin, yang merupakan
satu-satunya jalan keluar masuk kantin.
"Hei! Tunggu!" Dia mencekal pergelangan tanganku dan menarikku
menjauhi kerumunan orang-orang di kantin yang menatap kami bingung.
"Oke, aku minta penjelasanmu. Mengapa akhir-akhir ini kau menjauhiku?
Bukankah kita sahabat? Mengapa kau tidak mau terbuka?"
Aku tertawa kecil, sinis. "Sahabat? Aku kira hanya musuh yang menyerang
dari belakang. Ternyata sahabat juga ya?" Dia menatapku heran.
"Apa sih salahku sampai kau tega berbuat seperti itu? Merebut gebetanku!
Jalan berdua dengannya!" ungkapku, penuh emosi. "Selama ini aku
berusaha tidak terpengaruh gossip-gosip di kelas mngenai dirimu. Aku selalu
meyakinkan diriku bahwa kau tidak seperti yang mereka bicarakan. Tapi ternyata
aku salah besar! Kau bahkan lebih buruk dari yang mereka bicarakan!"
"Ini tidak sep-"
"Kau sudah punya segalanya. Kau pintar, kaya, cantik, berbakat di banyak
hal, dipuja-puja banyak cowok. Apa sih yang kau inginkan dariku? Hingga
satu-satunya kebahagianku, cowok yang kusukai, juga kau renggut!" ssudah
menyentaknya seperti itu aku berlari meninggalkannya.
Mungkin hidupku tidak akan menyedihkan seperti ini seandainya aku dapat
bertukar hidup dengannya...
***
Cerita Lia
Boleh kau tanyakan pada semua orang dan aku jamin mereka akan menjawab aku jauh
leebih cantik daripada dia. Soal otak? Hmm, aku rasa aku sama pintar dengannya.
Dia itu pendiam, bicaranya lembut, tipe cewek yang selalu memendam perasaannya;
bertolak belakang denganku. Dia juga berasal dari keluarga yang biasa saja,
tidak 'wah' sepertiku yang selalu memakai barang-barang kualitas nomor satu.
Lalu kenapa aku iri? Sederhana saja, dia mempunyai apa yang tidak aku punya.
Kebebasan.
***
"Delianasya Putri."
Panggilan Bu Lani, guru Biologi, membuatku sedikit tersentak dari lamunanku.
Kulihat beliau sudah berdiri di dekat pintu, hendak keluar kelas.
"Spulang sekolah, jangan lupa ke kantor Ibu ya. Ada yang Ibu mau
bicarakan." Setelah aku mengangguk sekilas, Bu Lani pergi meninggalkan
kelas.
Baru saja aku hendak berdiri, Nana mnyodorkan selembar kertas yang mengurungkan
niatku. "Apa ini, Na? tanyaku seraya meraih kertas itu. Begitu mataku
membaca judulnya, aku langsung mengerang pelan.
"Angket penjurusan," jawab Nana seraya duduk di depanku. "Kita
kan sudah kelas tiga, tidak ada salahnya menentukan jurusan dari
sekarang."
"Tapi ini baru awal semester!" protesku kesal. "Benar-benar
masalah."
Nana tertawa kecil. "Kau tinggal tunjuk saja jurusan apa yang kau mau.
Nilaimu bagus, tidak seeperti nilaiku yang selalu pas-pasan. Soal dana, pasti
tidak jadi masalah untuk orang tuamu. Benar kan? Lalu dimana masalahnya,
Li?"
Di mana masalahnya? Di orang tuaku! Jeritku frustasi dalam hati.
***
Benar saja, apa yang kutakutkan teerjadi. Begitu melihat angket penjurusan
untuk perguruan tinggi, orang tuaku langsung menentukan jurusan apa yang harus
kuambil tanpa bertanya sepatah katapun padaku.
"Boleh memilih jurusan desain, tapi itu jadi pilihan kedua. Pertama tetap
kedokteran!" tegas Papa.
Lama-lama aku kesal juga menjadi 'boneka' orang tuaku. Aku sudah tujuh belas
tahun, berhak menentukan hidupku!
Aku mengikuti Papa yang berjalan mnuju carport, tempat papa dan supir sudah
bersiap. Langkahku terhenti di teras rumah, di samping carport. "Kalau
begitu aku tidak akan lulus seleksi fakultas kedokteran.
Sesaat kukira 'senjata'-ku itu ampuh, karena Papa yang hendak naik ke mobilnya
menuju tempat praktek langsung terdiam dan berbalik menghadapku. Tapi ternyata
aku salah. Papa punya 'senjata' yang paling mutakhir.
"Tidak ada fakultas kedokteran, tidak ada uang saku!"
Glek!
***
Seperti yang kuduga sebelumnya juga, orang tuanya memberikan dia memilih
jurusan sesuai minatnya. Sampai-sampai dia bingung menentukan jurusannya.
Diam-diam aku mmperhatikannya sampai diliputi rasa iri. Dia benar-benar
memiliki hidup yang sesungguhnya yang tidak dapat dibeli oleh uang.
Tidak sepertiku yang bagaikan boneka di atas panggung sandiwara bernama
kehidupan. Semua yang kulakukan diatur kedua orang tuaku yang semakin lama
semakin menikmati peran mereka sebagai dalang. Aku juga sudah muak dengan
segala les yang kuikuti. Semuanya adalah keinginan orang tuaku. Aku ingin
melakukan apa yang aku suka, yang benar-benar kulakukan tanpa ada paksaan.
"Lia saja!"
Pekikan nyaring Rossa membuatku kembali terhempas kea lam nyata. Aku
mengerjapkan mataku. Oh iya, kami masih di rumah Rossa membicarakan mengenai
drama kelompok kami untuk pelajaran teater.
"Bagaimana? Dia kan hebat dalam berakting, andalan klub terang Rossa
berpaling ke arahku. "Kau mau kan, Li? Jadi peran utamanya,
Cinderella."
Euh...Aku paling tidak suka dengan keadaan seperti ini. Teman-temanku selalu
saja 'bersekongkol' mendaulatku untuk melakukan yang mereka inginkan. Sama
seperti orang tuaku. Masalahnya, aku tidak sampai hati menolak mereka.
"Baiklah! Kalau bgitu sudah diputuskan bahwa Lia yang menjadi
Cinderella!" putus Rossa akhirnya karena aku masih terdiam saja.
"Ekh?" Mataku teerbelalak tidak percaya. "Tu-tunggu dulu,
Ro-" ucapanku disela oleh teman-tman kelompokku yang lain, mendukung ide
Rossa.
Kecuali dia. Kulirik ke arahnya yang masih diam memandang lurus ke depan. Aku
merasa bersalah, terlebih setelah hampir setahun aku duduk di seblahnya dan dia
baik sekali padaku. Peranku ini peran yang sangat diinginkannya, aku masih
ingat sekali saat dia mengungkapkannya padaku.
***
Aku sama sekali tidak mnyangka kalau usahaku untuk menjauhi Eric. Cowok yang ia
taksir, malah berujung pada pertengkaran hebatku dengannya. Jawaban atas segala
kebingunganku melihat tingkahnya yang menjauhiku.
Eric memang sudah lama menyukaiku. Aku menolaknya tentu saja, mengingat aku
tidak mau mngkhianati dia yang sudah kuanggap sahabatku. Tapi Eric bukanlah
tipe cowok yang langsung menyerah. Akhirnya aku membuat kesepakatan; aku
bersedia menjadi pacarnya selama sebulan tapi setelah itu Eric harus
menjauhiku.
Pacaran, menurut definisi Eric, juga termasuk nge-date di mal setiap ada waktu
luang. Entah kapan, dia memergokiku sedang jalan bersama Eric. Sudah aku bosan
setengah mati mendegar celotehan cowok sombong itu, aku harus juga bertengkar
hebat dengannya, sahabatku! Benar-benar buah simalakama.
"Apa sih yang kau inginkan dariku?"
Pertanyaan yang tadi ia lontarkan dengan air mata menggenang di pelupuk
matanya, masih terngiang jelas di telingaku. Aku duduk sambil mnghela napas
panjang di salah satu bangku taman belakang skolah setelah pertengkaran yang
menyakitkan dan melelahkan itu.
Andai saja aku berani menjawab saat itu.
Aku ingin memiliki hidup sepertimu, bertukar hidup denganmu...
***
Dynamic Duo Sea Games
Jumat (20/10) - Dunia renang Indonesia tampaknya telah terbangun dari tidur
panjangnya. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian salah seorang Srikandi Indonesia
yang berhasil menyumbang medali emas di nomor 100m gaya bebas, Niken Sarasyla.
Dalam usianya yang masih tergolong belia, 22 tahun, gadis ini mampu mencetak
banyak prestasi termasuk mengharumkan nama Indonesia di mata Internasional.
Nampaknya kesuksesan Niken tidak terlepas dari dukungan kedua orang tuanya.
Terlebih sang ibunda, Ny. Delianasya Putri, yang selalu setia menemani dan
memberikan semangat pada putrinya setiap kali perlombaan.
"Bagi saya, Mama adalah sosok yang paling berperan sehingga saya dapat
menjadi seperti ini. Beliau membebaskan saya menentukan arah hidup saya,"
ujar Niken semangat.
Setali tiga uang dengan Niken. Kekasihnya, Ares Galang, yang juga merupakan
salah satu atlet renang yang memang andalan Indonesia ini, juga turut
menyumbangkan medali emas bagi Indonesia di nomor 400 m gaya bebas. Beberapa
saat setelah medali emas pertama diraih oleh Niken.
Jadi, rasanya layak apabila pasangan ini disebut sebagai Dynamic Duo Sea Games
karna prestasi mereka. Kita doakan saja agar cita-cita mereka untuk menaklukkan
dunia di ajang Olimpiade dapat tercapai.
***
(Oleh : Regina Maria)